Pendudukan Jepang di Sumatra Barat tahun 1942




Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

Kedatangan Jepang

Jepang memulai invasinya di Sumatera pada Februari 1942 dengan menerjunkan unit-unit pasukan payung di Palembang. Menurut Audrey Kahin, Jepang bermaksud mendahului rencana Belanda yang akan merusakkan instalasi minyak di dekat Palembang. Dari Palembang, balatentara Jepang segera menyebar ke arah selatan dan utara Sumatera. Pada pertengahan Maret, pasukan dalam jumlah yang lebih besar mendarat di pantai utara dan timur Sumatera, lalu bergerak cepat ke selatan.[1]
Melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, Belanda menyerahkan wilayah jajahan Indonesia kepada Jepang. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia dalam tiga wilayah pemerintahan militer. Wilayah Sumatera berada di bawah Departemen Pemerintahan Militer "Gunseibu" Tentara ke-25 di Singapura yang dipimpin Jenderal Moritake Tanabe. Namun, komandan militer Belanda di Sumatera A. I. Spits mendeklarasikan tentara Belanda di Sumatera akan terus berjuang hingga tetes darah terakhir.[2]
Masuknya Jepang ke Sumatera Barat hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatera lainnya. Tentara angkatan perang Jepang memasuki Kota Padang pada 17 Maret 1942. Dalam hitungan hari, seluruh Sumatera Barat dapat mereka kuasai dan komandan militer Belanda di Sumatera menyerah tanpa syarat kepada Jepang.[1]

Pemerintahan


Atap Jam Gadang mengikuti bentuk atap pagoda (tengah) sewaktu pendudukan Jepang.
Akademisi Audrey Kahin—yang meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell[3]—mencatat, salah satu fokus tentara pendudukan Jepang selama tahun pertama pendudukan adalah memfungsikan aparatur pemerintahan di Sumatera sehingga dengan demikian mereka dapat memanfaatkan secara efisien sumber daya vital di Sumatera, terutama ladang minyak dekat Palembang dan perkebunan karet di Sumatera Timur. Jepang menghidupkan kembali sistem pemerintahan peninggalan Belanda dan mengangkat kembali sebagian besar mantan pejabat Indonesia yang pernah duduk di birokrasi sebelumnya.[1]
Sumatera dalam struktur pemerintahan pendudukan pada mulanya berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat Divisi ke-25 yang berpusat di Singapura. Namun, Komando Tentara ke-25 berkesimpulan bahwa mereka tidak mungkin memerintah Sumatera dari markas besarnya di Singapura, terutama dalam usaha melindungi daerah di sekitar instalasi-instalasi vital. Pada 1 Mei 1943, markas besar Tentara ke-25 dipindahkan dari Singapura ke Bukittinggi dan Sumatera yang sebelumnya tergabung bersama Malaya dijadikan unit pemerintahan sendiri.[2] Jepang membagi Sumatera menjadi 10 shu (identik dengan daerah administratif residen pada zaman Belanda) yang masing-masing dikepalai oleh seorang shu chokan.
Keresidenan Sumatera Barat dibentuk pada Agustus 1942 dengan nama Sumatra Neishi Kaigun Shu. Keresidenan ini beribu kota di Padang. Mantan Gubernur Prefektur Toyama Yano Kenzo menjabat sebagai shu chokan pertama.[4] Sebagai pemimpin sipil untuk wilayah Sumatera Barat, Yano Kenzo tiba di Padang tanggal 9 Agustus 1942 bersama dengan 68 orang pegawai sipil.[5] Pembagian unit daerah administratif Sumatera Barat hampir sepenuhnya mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 yang terdiri dari 5 afdeelingen, 19 onderafdeelingen, 20 districten, dan 49 onderdistricten serta sedikitnya 430 nagari. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, sedikit perbedaan dari pembagian unit daerah administratif oleh Jepang adalah dikeluarkannya Fuku Bun Bangkinang dan dimasukkannya daerah itu ke dalam Riau Shu.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke dalam bahasa Jepang. Afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen diganti dengan nama bun, dikepalai oleh seorang bun shu cho. Fuku bunshu dikepalai oleh seorang baku bun cho, menggantikan istilah onderafdeeling yang dikepalai oleh kontroler. District yang dikepalai oleh demang diubah menjadi gun yang dikepalai oleh seorang gun cho. Onderdistrict yang dikepalai oleh asisten demang diganti dengan istilah fuko gun, dikepalai oleh seorang fuko gun cho.[5]
Jepang masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang sebelumnya bekerja dengan Belanda. Pejabat Bumiputra tertinggi mengepalai gun dan struktur di bawahnya, fuku gun. Unit pemerintahan yang terkecil yaitu nagari diberi istilah son dan kepala nagari dinamakan son cho.[5]

Penerimaan

Kedatangan tentara Jepang di Padang disambut oleh penduduk dengan melambaikan bendera Merah Putih dan bendera Hinomaru disertai teriakan "banzai". Sejarawan Gusti Asnan mencatat, mata-mata Jepang sebelumnya sudah menyebarkan pengaruh pada rakyat Minangkabau. Sebagian dari orang Jepang yang bermukin di Sumatera Barat sejak dekade 1920-an berperan sebagai intelijen Jepang "yang dikirm guna melapangkan jalan bagi okupasi mereka".[6] Rakyat telah diyakinkan bahwa kedatangan Jepang untuk membebaskan bangsa ini dari kekuasaan Imperialisme Barat. Jepang menyerukan semboyan Asia untuk bangsa Asia sebagai pembebas Asia dari kekuasaan imperialisme.

Masjid Raya Ganting, markas Hizbul Wathan di Padang. Soekarno sempat menginap di rumah Umar Marah yang berada dekat masjid dan berpidato di masjid.
Pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Padang banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Soekarno tertahan di Sumatera Barat setelah pihak Belanda gagal membawanya ke Australia.[a] Soekarno menunjukan sikap kooperatif terhadap Jepang. Namun, tokoh-tokoh PNI ketika mengadakan rapat di kantor Bumiputra, Bukittinggi, terpecah dua ke dalam kelompok yang mendukung dan yang menolak untuk bekerja sama dengan Jepang. Anwar Sutan Saidi sebagai Kepala Bank Nasional dan organisasi-organisasi perdagangan memilih menghindari jalur politik dan bergerak di jalur ekonomi dalam rangka mengumpulkan dana dan senjata bagi perjuangan kemerdekaan. Tamimi Usman memimpin sekelompok orang yang mengikuti cara Syahrir yang non-kooperatif dan menggerakkan kegiatan-kegiatan bawah tanah. Adapun kelompok yang dipimpin oleh Chatib Sulaiman mengikuti jalur perjuangan.[9][10]
Dalam pidatonya di Padang, Soekarno menghimbau rakyat agar tidak mengadakan perlawanan terhadap tentara Jepang karena kekuatan yang ada tidak sebanding. Menurut Soekarno, bangsa Indonesia harus memanfaatkan Jepang untuk mencapai cita-cita mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Melalui sikap kooperatifnya, Soekarno berhasil mencegah tindakan kasar tentara Jepang terhadap rakyat Sumatera Barat.[11] Soekarno membujuk sebagain besar tokoh-tokoh bangsa di Sumatera Barat untuk bekerjasama dengan Jepang. Ketika tentara Jepang melarang pengibaran bendera selain dari bendera Jepang, Soekarno memerintahkan orang-orang agar menurunkan bendera "sampai tiba saatnya kita dapat mengibarkan Sang Dwi-warna dengan bebas dari semua bentuk dominasi asing".[9] Soekarno bersama Hatta memandang kerja sama dengan Jepang sebagai cara terbaik dalam mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, "berlayar dalam satu kapal bersama orang Jepang sambil membawa barang dagangan ktia sendiri".[10]
Sejumlah tokoh di Sumatera Barat bergabung untuk mendukung Jepang. Soekarno ikut membentuk Komite Rakyat yang bertujuan untuk membantu Jepang di bidang keamanan dan makanan, mengurangi akses perang terhadap rakyat Sumatera Barat, mendirikan sekolah, dan memelihara semangat kemerdekaan. Chatib Suleiman bersama Leon Salim mempersatukan seluruh organisasi pemuda yang ada menjadi Pemuda Nippon Raya. Tetapi pihak Jepang curiga terhadap dukungan ini, dan setelah kepergian Soekarno mereka membubarkan Komite Rakyat dan Pemuda Nippon Raya. Para pemimpin kedua organisasi di tangkap pada tanggal 14 November 1942 dengan tuduhan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang padahal menentang mereka. Namun, seminggu kemudian mereka di bebaskan