Yano Kenzo Gubernur Sumatra Barat saat penjajahan Jepang

Add caption 
"Gubernur Sumatera Barat" ja dalam balutan busana tradisional Minangkabau.
Pemerintahan sipil Sumatera Barat baru efektif berjalan setelah kedatangan ja ke Sumatera Barat pada 9 Agustus 1942 sebagai Residen Sumatera Barat. Sebelum bertugas di Sumatera Barat, Yano pernah menjabat sebagai Gubernur Prefektur Toyama.[4] Gusti Asnan mencatat Yano berperan besar dalam mewujudkan kerja sama yang baik antara rakyat Sumatera Barat dengan pihak Jepang.[12] Yano banyak menentang kebijakan Komando Tentara ke-25, tetapi tetap menjaga hubungan persahabatan dengan Panglima Tentara ke-25 Tanabe di Bukittinggi. Simpatinya pada aspirasi rakyat setempat untuk merdeka dan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pandangannya ia kemukakan dalam sebuah artikel yang ditulisnya kelak pada 1967.[13]
Sebagai pemimpin sipil, Yano Kenzo melakukan pendekatan terhadap penduduk Minangkabau melalui kebudayaan. Ia memiliki minat pada alam, masyarakat, dan adat-istiadat Minangkabau yang menganut tradisi matrilineal.[4] Menurut Gusti Asnan, pandangan politiknya yang dipengaruhi oleh minatnya yang besar terhadap Minangkabau menjadi dasar lahirnya ide untuk memprakarsai pendirian beberapa organisasi kemasyarakatan, sosial, dan budaya di Sumatera Barat.[12] Karena bertahan dengan pendiriannya menentang kebijakan ekonomi otoritas Jepang, Yano mengundurkan diri sebagai gubernur pada Maret 1944 dan digantikan oleh Hattori Naoaki pada bulan berikutnya.[14] Yano menilai, tentara pendudukan Jepang sangat menyadari sumber daya Indonesia yang berlimpah dan bertekad untuk terus mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, sekalipun untuk itu Jepang terpaksa melepaskan Filipina dan Burma.[15]
"...Minangkabau di Sumatra, yang berada di bawah yurisdiksi saya..., tampaknya sebuah suku yang paling cerdas dan maju di bidang ekonomi di antara suku-suku yang ada; dan kepedulian politik mereka pun mengagumkan. Jadi, tidak mengherankan kalau mereka ini mempunyai keinginan yang kuat untuk mengakhiri 350 tahun penindasan Belanda, dan meraih kemerdekaan penuh. Yakin bahwa tentara pendudukan Jepang akan membantu tercapainya impian jangka panjang mereka, mereka mau bekerja sama. Tetapi, setelah pendudukan berlangsung selama dua tahun, tak kunjung ada perubahan."
— Yano Kenzo.[15]
Saat menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, Yano mendirikan Kerukunan Minangkabau (Gui Gan) sebagai badan konsultasi dirinya dengan tokoh-tokoh Minangkabau.[4][b] Kerukunan Minangkabau mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman gubernur. Anggota-anggotanya adalah representatif dari ulama, politisi, pemimpin adat, dan akademisi yang bertindak sebagai dewan penasihat informal bagi shu chokan.[4] Gusti Asnan menyebut Kerukunan Minangkabau sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode awal. Ketika Komando Tentara ke-25 mengeluarkan perintah pendirian shu sangikai atau DPR di setiap shu pada 8 November 1943, pemerintah sipil Sumatera Barat meneruskan Kerukunan Minangkabau yang telah ada sebagai shu sangikai dan Muhammad Sjafei ditunjuk sebagai ketua.